Suku asli Muna ( O Tomuna & Batuawu ), Menghuni Pulau Muna sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan selain menghuni Pulau Muna Orang
Muna juga menjadi menghuni sebagaian besar wilayah Pulau Buton dan
Pulau-Pulau kecil lainnya seperti Pulau Talaga, Kadatua dan Pulau Siompu
yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi kabupaten Buton.
Penyebaran Suku asli Muna ( Baca; Orang Muna )di Pulau Buton dan
pulau-pulau lainya di Sulawesi Tenggara itu dapat dilihat dari bahasa
yang digunakan, bentuk tubuh dan warna kulit masyarakatnya.
Dalam
literatur dan juga dalam pergaulan, Orang Muna lebih dikenal sebagai
orang Buton. Hal ini disebabkan karena Kerajaan/Kesultanan Buton, atas
bantuan Belanda, mengkooptasi Kerajaan Muna dan mengklaimnya sebagai
bagian dari Wilayahnya. Kendati demikian maasyarakat dan pihak istana
Kerajaan Muna tidak pernah mengakuinya.
Hingga Kerajaan/Kesultanan Buton dibubarkan oleh
Pemerintah Indonesia pada tahun 1962, Raja raja Muna terus melakukan
perlawanan terhadap kooptasi Buton dan sekutunya, Belanda tersebut, dan
tak pernah mengakui klaim tersebut.
Konsekuensi
dari perlawanan tesebut adalah diasingkannya beberapa Raja Muna ke
Pulau Sumatera dan Jawa. Perlawanan yang paling ekstrim dilakukan oleh
Raja Muna La Ode Dika gelar Komasigino saat menghadap Sultan Boton La
Ode Salihi. Dihadapan Sultan Buton, Raja Muna La Ode Dika tidak
melakukan penghormatan sebagai
mana layaknya bawahan terhadap atasan, bahkan dengan ketegasannya Raja
Muna La Ode Dika mengacungkan telunjuknya ke Pada Sultan Buton.
Tata
cara yang dilakukan oleh Raja Muna La Ode Dika tersebut dianggap
sebagai perlawanan dan ancaman oleh Sultan Buton sehingga dilaporkan
pada Pemerintah Kolonial Belanda di Makassar. Akibat dari sikapnya tersebut
La Ode Dika dicopot dari jabatannya oleh Pemerintah Kolonial dan secara
sepihak pemerintah kolonial menyatakan Kerajaan Muna dibawah
pengawasannya ( 1938-1941 ) hingga akhirnya melantik La Ode Pandu sebagai penggantinya.
Kenyataan
lain yang menunjukkan bahwa Kerajaan Muna tidak pernah mengakui klaim
Kesultanan Buton dan sekutunya Kolonial Belanda adalah kuatnya pengaruh
kebudayaan Muna mempengaruhi kehidupan masyarakat di Kesultanan Buton
khususnya pengguanaan bahasa Muna. Fakta ini masih dapat dilihat sampai
saat ini dimana penutur bahasa Muna (orang Muna) yang mendiami sebagian
besar wilayah ex Kerajaan/Kesultanan Buton masih dapat dilihat sampai
saat ini..
Orang Muna menjadi penghuni Pulau Muna dan Pulau-pulau lainnya sejak jaman
purbakala. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan relief purba di gua
Liangkobori dan Gua Metanduno. Menurut beberapa penelitian relief
tersebut telah berusia lebih dari 25.000 tahun. Relief yang ada di Gua
Liangkobori dan Metanduno secara jelas menceritakan aktifitas Orang Muna
saat itu.
Dari relief tersebut menggambarkan bahwa walau Orang Muna
masih menempati Gua sebagai tempat tinggal mereka, tetapi mereka telah
memiliki peradaban dan kebudayaan yang cukup tinggi. Orang Muna saat itu
seperti yang diceritakan dari relief tersebut telah menggunakan alat-alat pertanian dalam bercocok tanam.
Pengetahuan mereka dibidang astronomi juga mulai mengalaami
perkembangan. Hal ini dapat dilihat dari gambar matahari, bintang dan
bulan.
Pengetahuan
Orang Muna di bidang astronomi tersebut masih terus di lestarikan. Hal
ini dapat dilihat dari Masyarakat Muna di pedalaman yang masih
mengandalkan pengetahuan tradisional dibidang astronomi untuk menentukan
musim tanam.
Ada
beberapa nama Rasi bintang yang menjadi petunjuk untuk melakukan
aktifitas pertanian. Misalnya saja Rasi Bintang yang di namakan Fele,
apabila rasi bintang ini sudah mulai terlihat jelas, maka aktifitas
membersikan lahan segera di mulai sebab satu bulan lagi hujan pertama
akan turun. Apabila hujan sudah turun maka pembakaran lahan dimulai.
Orang Muna
Orang Muna adalah masyarakat Suku Muna, yang mendiami Pulau Muna dan pulau-pulau kecil disekitarnya, sebagian besar Pulau Buton khususnya bagian Utara, Utara Timur Laut dan Barat Daya Pulau
Buton, Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Kepulauan Talaga ( wilayah
Kabupaten Buton) . Orang Muna menggunakan Bahasa Daerah Muna sebagai
bahasa tutur diantara mereka.
Orang Muna asli memiliki kemiripan dengan suku-suku
Polynesia dan Melanesia di Pasifik dan Australia. Orang Muna berbeda
dengan suku-suku lain yang ada di Sulawesi Tenggara yang memiliki
kemiripan dengan Melayu dan Mongoloid.
Dari
bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam), dan rambut
(keriting/ikal) terlihat bahwa orang Muna asli lebih dekat dengan
suku-suku yang ada di Pulau Flores dan Kepulauan Maluku. Hal
ini diperkuat dengan kedekatannya dengan tipikal manusianya dan
kebudayaan suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan Pulau Timor dan Flores
umumnya.
Motif
sarung tenunan di NTT dan Muna sangat mirip yaitu garis-garis
horisontal dengan warna-warna dasar seperti kuning, hijau, merah, dan
hitam. Bentuk ikat kepala juga memiliki kemiripan satu sama lain.
Orang
Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di Australia.
Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan Muna khususnya di Pulau
Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga sering mencari ikan atau teripang
hingga ke perairan Darwin.
Telah
beberapa kali Nelayan Muna ditangkap di perairan ini oleh pemerintah
Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan
tradisional antara orang Muna dengan suku asli Australia Aborigin.
Menurut La Kimi Batoa dalam bukunya Sejarah Muna terbitan CV Astri Raha bahwa penduduk asli Pulau Muna adalah O Tomuna dan Batuawu. O Tomuna memiliki ciri-ciri berkulit
hitam, rambut ikal tinggi badan antara 160- 165 Cm. Ciri-ciri ini
merupakan ciri-ciri umum suku-suku malanesia dan Australia .
Suku-suku
di Indonesia yang memiliki ciri-ciri seperti ini mendiami wilayah Irian
dan Australia ( suku Aborigin). Sedangkan Batuawu berkuit Coklat beraambut ikal dan tinggi tubuh berkisar 150-160 Cm. Postur tubuh seperti ini merupakan ciri-ciri yang dimiliki suku-suku Polynesia yang mendiami Pulau Flores dan Maluku. Suku asli Muna menggunakan Bahasa muna sebagai bahasa sehari-hari.
Kota Tua Raha, Sekilas Wajah Kejayaan Muna Tempo Dahulu
Pukul
15.10, kapal MV Sagori Express dari BauBau berlabuh sejenak di
pelabuhan Raha. Dua jam perjalanan laut yang penuh dengan pemandangan
indah sepanjang Selat Buton antara Pulau Buton dan Muna sungguh telah
menghibur saya. Selanjutnya saya pun turun dan menginjakkan kaki di kota
kabupaten yang baru berkembang ini. Riuh suara penumpang yang hendak
turun ataupun naik melanjutkan perjalanan ke Kendari, bercampur-baur
dengan teriakan penjaja makanan kecil, porter pelabuhan dan tukang ojek
yang menawarkan jasanya. Saya segera menghampiri Rahman, seorang tukang
ojek yang sedang bediam diri di pinggir dermaga, untuk mengantarkan saya
ke tujuan pertama saya, kota Tua Muna.
Perjalanan ke Kota Tua terasa menyiksa sekali, saya terguncang-guncang melewati jalanan tanah
berbatu sejauh 30 km ke selatan Raha. Satu-satunya yang menghibur saya
adalah hijaunya pemandangan kebun dan hutan yang berjejer di pinggir
jalan. Di beberapa tempat tampak rumah-rumah kayu khas Muna yang
tersebar terpencil di pinggir-pinggir jalan desa. Sore itu sepi sekali
jalanan kami rasa, kami hanya berpapasan dengan dua buah sepeda motor
dan sebuah mobil. Cemas sempat hinggap di perasaan saya, jika sampai
kami mengalami gangguan motor, misalnya ban bocor, maka dipastikan kami
akan bermalam di tempat itu.
Bertanya
dua kali ke warga setempat yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan,
sampailah kami di pusat Kota Tua Muna. Kampung Lama, demikian banyak
orang menyebut daerah ini, saat ini hanya tersisa sebuah mesjid yang
gagah berdiri di tengah hijaunya lembah desa. Di sekelilingnya tampak
putaran bukit gamping yang berwarna putih abu-abu seolah-olah
membentengi mesjid ini dari segala arah. Saat itu waktu ashar telah
tiba, saya menaiki undakan tangga mesjid dan menemukan bahwa kami berdua
lah yang hanya menjadi tamu mesjid itu. Melongok ke dalam ruangan
mesjid yang terkunci, saya baru sadar bahwa tempat ini sudah dirombak
total. Bangunan seluas 400m2 ini telah dipugar dan menenggelamkan
arsitektur awalnya yang konon sangat menarik. Di luar, puluhan pilar
dengan gagah berdiri di atas lantai beton yang menopang atapnya. Lumayan
modern tampaknya, dengan rangka-rangka besi yang menghubungkan bagian
per bagian. Namun di dalam, saya menemukan bahwa pondasi utama berupa
sebuah pilar yang kokoh masih menopang kubah dua tingkatnya yang menjadi
penciri khas mesjid ini. Tentu saja, pilar tersebut sudah digantikan
dengan beton. Mihrab di bagian depan tampak sederhana, hanya berupa meja
kayu tinggi di pinggir kiri dan di kanannya terdapat dua ruang untuk
imam dan pengurus mesjid. Seperti halnya mesjid-mesjid agung di daerah
lain, seorang imam mesjid yang dituakan akan dipilih untuk menjadi
panutan umat. Demikian pulalah halnya yang dengan Yaro Imamu Robine
(petinggi Mesjid Agung) Muna, Wa Ode Ghito yang wafat pada tahun 1963
dalam usia 120 tahun! Pusaranya diabadikan di sisi selatan mesjid,
bersandingan dengan cucu kesayangan beliau La Ode Manenti Woro. Tampak
sebuah batu nisan berbentuk yoni tegak berdiri diapit keramik pualam
hitam sebagai penanda makam imam besar tersebut.
Tertarik dengan cerita rakyat akan asal-usul Kerajaan Muna, kami
kembali meluncur ke selatan. Kira-kira 10 menit kemudian kami pun berhenti
di persimpangan kecil. Diiringi seorang bapak tua, saya, Rahman, dan
seorang anak kecil sebagai guide berjalan menembus jalan setapak berbatu
menuju ke dalam perbukitan. Tiga ratus meter kemudian, Sang Bapak Tua
menunjuk sambil berkata : “Ini dia dek, tempatnya asal-usul kerajaan
Muna itu”. Saya pun teringat akan legenda terdamparnya kapal putra Raja
Luwu, Sawerigading dalam salah satu pelayarannya di salam satu pulau.
Sebelum kembali ke Luwu, Sawerigading meninggalkan anak buahnya sejumlah
40 orang, mendirikan suatu kampung bernama Wamelai yang menjadi
cikal-bakal penduduk Muna. Kapal yang kandas tersebut dikisahkan membatu
dan menjadi suatu bukit yang disebut Bahutara yang berarti bahtera.
Setengah mati saya berusaha memvisualisasikan bentuk bukit di kanan
saya agar mirip dengan perahu, namun tidak pernah berhasil. Akhirnya,
saya melewatkan tempat ini sementara dan terus berjalan memasuki jalan
menuju Kontu Kowuna. Lima belas menit langkah saya terhenti saat Si
Bapak menahan pundak saya. “Inikah Kontu Kowuna itu?”, pikir saya dalam
hati. Di luar dugaan saya, Kontu Kowuna yang berarti bukit berbunga
sebagai asal-muasal nama Muna ini ternyata terdiri dari tiga buah bukit
kecil. Bukit-bukit gersang tersebut tampak ditumbuhi sejenis rumput yang
berwarna putih tulang. Dahulu, rumput yang bertebaran memberi kesan
”berbunga” ini dipercaya memiliki kesaktian. Prajurit Muna yang hendak
berperang selalu mengambil rumput ini sebagai ajimat dan dipercaya
mereka akan kembali dengan selamat. Saat ini, masyarakat sekitar masih
mempercayai khasiatnya sebagai obat segala penyakit. Cukup dengan
mengambil sejumput dan diminum dengan air hangat maka dipercaya segala
penyakit akan lenyap. Saya sangat beruntung diberi sejumput bunga itu
karena keberadaannya yang jarang sekali.
Penasaran dengan Bahutara, kami pun melangkah kembali ke tempat
semula. Begitu saya lepas dari jejeran bukit-bukit mungil Kontu Kowuna,
barulah mata saya terbelalak. Saat itu tampak dengan jelas visualiasi
perahu dari Bahutara
tegak menjulang di sisi kiri. Bukit berbentuk perahu dengan panjang
kurang-lebih 40 meter itu memiliki haluan yang menghadap ke selatan.
Semakin penasaran, saya melangkahkan kaki mendaki sisi selatan bukit,
saking semangatnya saya tiba di bagian “buritan” dengan terengah-engah.
Di atas, saya mendapati bahwa di bagian tengah terdapat lorong berupa
gua-gua kecil yang umum terdapat di dalam bebatuan gamping. Ada sebuah
gua yang lumayan besar dan mengarah ke bawah, namun saya urungkan niat
memasukinya karena tidak membawa peralatan yang cukup. Saya hanya
melongok sebentar dan takjub, ternyata keberadaan lorong-lorong gua ini
cocok dengan cerita adanya ruangan di dalam kapal yang dulunya berfungsi
sebagai “kabin”. Rahman, si tukang ojek, pun tidak kalah antusiasnya
dari saya. “Maklum, saya asli dan besar di sini tapi baru pertama kali
ke sini Pak!”, imbuhnya sambil tersenyum malu. Saya hanya tertawa kecil,
hal seperti itu bukan barang baru buat saya.
Dari atas bukit Bahutara, saya melayangkan pandangan ke sekeliling.
Di lembah di bawah kaki, tampak atap hijau dua tingkat Mesjid Tua Muna
yang saya kunjungi sebelumnya.
Sayang sekali, benteng batu yang dikisahkan mengelilingi kerajaan ini
sepanjang 8 kilometer dan setebal 3 meter sudah tidak tampak. Jika masih
ada dan terjaga, pastilah mahakarya itu akan menjadi “saingan berat”
dari benteng kerajaan Buton di BauBau yang sedang menanti pengakuan
sebagai benteng terluas di dunia. Namun, pemandangan yang indah di bawah
dari indahnya lembah yang menghijau dipagari jejeran putihnya
bukit-bukit gamping cukup menghibur hati. Terlebih-lebih, baru saya
sadari jika semua rumah di daerah ini masih mempertahankan ciri
tradisionalnya. Rumah-rumah panggung dengan bahan kayu polos berwarna
coklat tampak kuno dengan ornamen pintu dan jendelanya yang khas. ”Walau
sudah lebih ratusan tahun legenda berlalu, kami tetap berusaha
mempertahankan budaya warisan nenek moyang kami”, kata Pak Tua dengan
suara bergetar. Salut dengan semangat beliau, saya pun menyampaikan rasa
terima kasih tak terhingga atas kesediaannya mengantar kami walau pun
beliau bukan juru kunci daerah itu. Saya pun pamit dan kembali menuju
Raha sebelum malam tiba.
Esok paginya, saya kembali menyetop tukang ojek yang melintas di pinggir pesisir
Raha. Tawar-menawar kilat pun terjadi dan deal, saya pun diantarkan
kembali ke arah selatan menuju danau Napabale yang cukup terkenal. Saya
baru sadar jika perjalanan saya kemarin melewati persimpangan Napabale.
Danau, atau lebih tepatnya laguna seluas sepuluh kali lapangan bola ini
terletak 15 km selatan Raha. Airnya yang berwarna hijau tosca bening
sangat memikat hati. Suasananya sangat senyap, tidak ada debur ombak
atau pun pantai di sini. Dasar danau berupa pasir lembut berwarna putih
hasil rombakan gamping terumbu. Di beberapa tempat tampak mencuat
pulau-pulau mini dari gamping, benar-benar tempat yang romantis! Saya
beruntung sekali karena di pagi yang sepi itu, saya menemukan seorang
pemuda yang bersedia mengantar saya mengelilingi danau dan tentu saja,
menembus melewati lorong menuju laut. Syaiful, pemuda lajang 19 tahun
dengan cekatan mendayung perahunya mengelilingi sisi selatan danau.
Ternyata, sembari menuju lorong ke laut, di bagian itu terdapat beberapa
rumah nelayan yang difungsikan sebagai tempat pengolahan ikan. Berbagai
ikan segar hasil laut diawetkan dengan cara dijemur berjejeran dan
digarami. Mereka sepertinya jarang bertemu pelancong di hari biasa,
tampak dari raut wajahnya yang berubah ceria saat melihat saya dari
kejauhan.
Debar jantung saya menjadi-jadi saat mendekati lorong menuju laut hasil pahatan alam ini. Bukan apa-apa,
muka air laut saat itu masih tinggi menurut saya, namun Syaiful
tenang-tenang saja. “Tenang saja Pak, air sudah mulai surut, kita pakai
perahu kecil jadi pasti sudah bisa lewat”, ujarnya penuh percaya diri.
“Okelah, penumpang turut supir “, jawab saya pendek. Memasuki mulut
lorong, sempit sekali rasanya bagi saya, walaupun lebarnya mencapai
sekitar 9 meter dengan panjang 30-an meter, kami hanya leluasa melalui
jalur zig-zag selebar 3 meter saja. Beberapa kali saya harus menundukkan
kepala menghindari tonjolan-tonjolan stalagtit kecil di atas lorong.
Sekitar
kurang dari lima menit kami melewati lorong itu dan sampailah kami di
ujung. Fikir saya, muara lorong itu adalah laut luas Selat Buton,
ternyata sisi ujung itu bermuara ke tempat yang menurut saya masih saja
tertutup. Jejeran benteng perbukitan gamping yang mengitari dan
pulau-pulau kecil yang mencuat membuat saya seolah-olah memasuki Danau
Napabale kedua. Bedanya, di sini dasar laut tampak dalam sekali. Tidak
tampak lagi dasar pasir putih di bawah, hanya hijau kelam
membayang. Di sisi-sisi pantai yang hanya secuil, tampak beberapa rumah
nelayan dan bagang-bagang. Bagang adalah rangkaian perahu yang
digunakan untuk menangkap ikan di malam hari. Jika kita melewati
perairan Sulawesi di malam hari dan melihat terangnya lampu neon atau
petromaks di laut, dipastikan itu adalah bagang atau wanggan, sebagai
mana dilafalkan berbeda di daerah lain. Daerah ini, menurut Syaiful,
adalah “rest area” bagi nelayan di sini. Para nelayan yang berdiam di
desa Napabale, jika hendak kembali ke desa dan air laut sedang naik maka
mereka harus menunggu di sini sampai perahu kecil mereka bisa menembus
lorong danau.
Saya
tidak bernyali untuk meneruskan perjalanan ke luar menuju Selat Buton
hanya bermodalkan perahu kayuh kecil milik Syaiful tersebut. Akhirnya
sisa waktu hanya saya habiskan memutari tempat itu lalu kembali memasuki
lorong untuk kedua kalinya dan memutari sisi utara danau menikmati
eksotisme keindahan tempat ini. Tidak mengherankan, ratusan turis manca
negara datang ke tempat ini setiap tahunnya di musim panas hanya untuk
menikmati jernihnya hijau air Napabale dalam pahatan alam yang begitu
indah hasil karya tiada tara Sang Maha Pencipta.Where to Stay :
Hotel Berlian (0403-21316) terletak dekat dengan pelabuhan dan pusat
kota serta memiliki pemandangan malam yang cukup indah. Hotel lain
seperti Alia (0403) 21150 juga cukup nyaman untuk disinggahi.
What to Do :
Raha adalah kota kecil yang terletak di pinggir timur pulau Muna.
Tata ruang kota relatif memanjang mengikuti bentuk pesisir. Menjangkau
tempat-tempat di Raha, seperti halnya kota-kota lain di Indonesia Timur,
dapat dengan menggunakan ojek. Tarif sekali jalan dalam kota jarak
dekat berkisar antara 3.000 hingga 5.000 rupiah dan bila ingin menyewa
seharian full day, harga 60.000 all in biasanya akan cukup memuaskan si tukang ojek.
Pogeraha Adara dan Pulau Muna: Hiburan Naluri Purba Rakyat Pulau Kuda
Keindahan bawah laut Wakatobi telah
memukau banyak petualang. Akan tetapi, tahukah Anda bahwa pesona budaya
di atas daratannya juga tak kalah memukau. Salah satunya yang patut
dilihat adalah atraksi di Raha, ibu kota Pulau Muna. Pulau Muna adalah sebuah pulau di lepas pantai Sulawesi Tenggara. Temukan di sini atraksi adu kuda tradisional yang dapat mengimbangi kepuasan nikmatnya keindahan bawah laut Wakatobi.
Masyarakat Muna mengenal adu kuda ini dengan sebutan Pogeraha Adara.
Tradisiinimenggambarkan betapa kuda begitu penting dalam kehidupan
sehari-hari masyarakatnya. Bisa jadi karena tradisi inilah pula kemudian
Pulau Muna dikenal sebagai Pulau Kuda. Salah satu yang kental dengan
penamaan ini adalah penduduk Desa Lathugo di Kecamatan Lawa yang masih
melestarikan Pogeraha Adara. Sehari-hari pun mereka banyak yang memakai kuda meski sarana transportasi sudah modern.
Setiap tahun sedikitnya 3 kali atraksi
adu kuda digelar di lapangan terbuka Kecamatan Lawa, sekitar 20 km dari
Raha. Acara ini biasanya digelar setiap HUT Kemerdekaan RI, Hari Raya Id
Fitri, dan Id Adha. Kecuali itu Anda dapat menemukannya di Desa
Lathugo, Kecamatan Lawa, karena di sini adu kuda diselenggarakan tiap
bulan.
Saatnya Anda mencicipi pengalaman budaya yang berbeda, unik, dan menarik dalam Pogeraha Adaradi Pulau Muna
Atraksi ini adalah peninggalan raja-raja
Muna. Awalnya pertunjukan adu kuda ini dimaksudkan sebagai penghormatan
raja kepada tamu-tamu penting yang datang dari Pulau Jawa atau daerah
lain. Sekarang, atraksi ini secara rutin digelar bertepatan pada
hari-hari besar. Makna Pogeraha Adara mencerminkan kekuatan dan keuletan dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan sekalipun harus
Atraksi Pogeraha Adara dimulai
dengan menampilkan kuda-kuda betina yang dipimpin seekor kuda jantan
yang berbadan besar dan beringas. Di tempat lain, dimunculkan seekor
kuda jantan dengan ukuran fisik sama besar. Kuda jantan itu akan
berusaha mendekatkan dirinya ke kuda-kuda betina yang dipimpin seekor
kuda jantan tadi. Akibatnya kuda jantan yang memimpin sejumlah kuda
betina akan terpancing marah saat melihat kuda jantan asing mendekati
kawanan kuda betinanya. Kedua kuda jantan sama besar ini telah dibuat
gelisah dan saling iri satu sama lain hingga akhirnya bertarung. Siapa
yang keluar sebagai pemenang maka akan mendapatkan kuda betina.
Kuda yang diadu adalah kuda jantan liar
dari alam bebas. Uniknya, untuk menangkap kuda jantan liar tersebut
tidak memakai laso tetapi seorang meintarano (pawang kuda) akan menirukan suara kuda betina sebagai pemancing. Jika kuda jantan mendekat maka sang meintarano
tinggal menangkapnya. Kuda yang ditangkap kemudian dijinakan dan
dilatih di sebuah lapangan dengan mengelus-elus hidung, telinga, hingga
ke punggung kuda. Kuda yang diadukan tersebut khusus dipelihara memang
untuk perkelahian.
Setelah perkelahian maka luka-luka di
badan kuda akan diobati dengan gerusan campuran karbon dari baterai
bekas dan minyak tanah. Obat ini dipercaya mencegah infeksi dan luka
akan cepat mengering. Setelah sembuh kuda aduan itu akan dilepaskan
kembali ke alam bebas untuk kemudian suatu hari mungkin ditangkap
kembali untuk memenuhi naluri purba rakyat Pulau Kuda.
Pulau Muna dan Kisah Epik I La Galigo
Dalam sejarah Pulau Muna yang
dikenal sebagai Tanah Wuna. Jules Couvreur, seorang peneliti Belanda
(1933-1935) menulis dalam jurnalnya secara mendalam tentang sejarah
kerajaan Wunayang ada hubungannya dengan Buton.
Karyanya Couvreur kemudian dipublikasikan
oleh Dr. Renevan Den Berg, seorang profesor linguistik dan peneliti
bahasa Munadari Darwin, Australia. Rene menerjemahkan jurnal tersebut
ketika Couvreur meninggaldi Den Haag tahun 1971 dalam usia 70 tahun.
Menurut Couvreur, ‘Wuna’ dalam bahasa Muna berarti ‘bunga‘,
Disebut begitu karena tidak jauh dari Kota Wuna itu terdapat sebuah
bukit batu karang yang menyerupai bunga. Tebing ini disebut ‘bahutara‘ atau ‘bahtera‘
yang berarti perahu besar atau sebuah bahtera. Bahtera ini dikaitkan
dengan Sawerigading yaitu tokoh karakter dalam kisah epik legendaris I La Galigo.
I La Galigo adalah kisah epik terpanjang di dunia sekaligus lebih tua dari Mahabharata. Bahasa dalam epik legendaris ini adalah bahasa Bugis kuno. Sawerigading merupakan asli rakyat Wuna dan ayah dari La Galigo yang merupakan tokoh utama dalam epik I La Galigo. Meskipun Sawerigading dan La Galigo tidak
pernah menjadi raja tetapi mereka berdua digambarkan sebagai petualang,
pengembara, kapten kapal, dan pahlawan yang tak terkalahkan. Salah satu
putra I La Galigo itu, La Tenritatta, pernah menjadi raja di Luwu, Sulawesi Selatan.
Dalam epik I La Galigo, Sawerigading
dan I La Galigo digambarkan sebagai penakluk binatang besar dimana
orang-orang pada umumnya di pulau Muna menjadikan adu kuda sebagai
tradisi yang senantiasa dihidupkan. Menurut cerita bahwa orang yang
datang ke Muna tidak bisa berjalan tegak dan dilarang berkuda. Kuda,
rusa, dan anoa merupakan hewan endemik Sulawesi dan hanya bisa
ditunggangi oleh raja-raja di wilayah tersebut.
Seperti dijelaskan Couvreur bahwa
Kerajaan Wuna tidak pernah didirikan secara resmi sampai raja yang ke-7,
La Kila Ponto (1538-1541) membangun benteng mengelilingi kerajaan
dengan panjang 8 km, tinggi 4 meter, dan lebar 3 meter. La Kila Ponto
kemudian diresmikan sebagai raja Buton dan Wuna diserahkan ke La Posasu,
adik La Kila Ponto.
Saat ini, benteng yang mengelilingi
kerajaan tersebut masih berdiri berpadu bersama masjid agung bergaya
rumah Buton. Masjid tersebut dibangun pada 1712, kemudian direnovasi
pada 1933 oleh La Ode Dika, salah satu raja Muna (1930-1938). La Ode
Dika menerima bantuan dari Jules Couvreur untuk mengembangkan masjid
tersebut. La Ode Dika dijuluki oleh Couvreur sebagai ‘Komasigino’ atau ‘pendiri masjid‘. La Ode Dika memiliki 14 anak dan beberapa dari mereka menjadi beberapa pemimpin lokal Sulawesi Tenggara.
Kaghati Kolope : Layang-Layang Tertua di Dunia dari Pulau Muna
Percayakah Anda ada layang-layang yang telah berusia 4.000 tahun? Jika tidak, maka Pulau Muna di Sulawesi Tenggara telah membuat bangga Indonesia dengan salah satu kearifan lokalnya. Layangan (kaghati)
kolope adalah budaya dari zaman prasejarah Pulau Muna dimana tidak
hanya memiliki nilai sejarah tinggi tetapi juga karena layangan ini
dibuat dari bahan alami oleh nenek moyang mereka.
Penduduk setempat menyebut layangan tua ini dengan nama Kaghati Kolope.
Layang-layang daun kolope berulang kali menjuarai Festival
Layang-Layang Internasional dan telah membuat Pulau Muna terkenal di
dunia.
Anda dapat menjumpai layangan tradisional
ini di Desa Mabolu, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Selatan.
Pulau Muna yang terkenal dengan kayu jatinya adalah sebuah pulau karst
alami dengan pemandangan batuan kapur. Pulau ini memiliki ciri ngarai
dan lubang-lubang yang merupakan hasil erosi. Pulau Muna dapat diakses
selama 2 jam dengan menggunakan speedboat dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara.
Layang-layang tradisional dari Pulau Muna
ini terbuat dari lembaran daun kolope (daun gadung) yang telah kering
kemudian dipotong ujung-ujungnya. Satu per satu daun tersebut dijahit
dengan lidi dari bambu sebagai rangka layangan, sementara talinya
dijalin dari serat nanas hutan.
Permainan layang-layang (kaghati)
oleh nenek moyang masyarakat Muna telah dilakukan sejak 4 ribu tahun
lalu. Hal ini berdasarkan penelitian Wolfgong Bick tahun 1997 di Muna.
Wolfgong Bick berasal dari Jerman dan merupakan salah seorang Counsultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial Photography.
Awal penelitiannya dilatarbelakangi saat Festival Layang-Layang Dunia
di Prancis tahun 1997. Saat itu layangan Kaghati Kolope dari Indonesia
tampil sebagai juara mengalahkan Jerman. Hal ini membuatnya berkeinginan
menelusuri keunikan Kaghati Kolope dan mengantarkannya ke
Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Tepatnya di Gua Sugi Patani, Desa Liang
kobori sekitar 8 km dari Raha, ibu kota Pulau Muna. Gua ini berada di
sebuah bukit setinggi 80 meter dengan kemiringan 90 derajat.
Dalam penelitiannya Wolfgong Bick melihat
sendiri lukisan tangan manusia yang menggambarkan layang-layang di
dalam Gua Sugi Patani, Desa Liangkobori. Di situs prasejarah tersebut
tergambar seseorang sedang bermain layang-layang di dinding batunya
dengan menggunakan tinta warna merah dari oker (campuran tanah liat dengan getah pohon). Gambar itu sudah dicoba untuk dihapus tetapi tidak bisa.
Penemuan lukisan di Gua Sugi Patani
dikatakan Wolfgong Bick telah mematahkan klaim bahwa layangan pertama
berasal dari China pada 2.400 tahun lalu. Layangan yang ditemukan di
China menggunakan bahan kain parasut dan batang almunium. Sementara
layangan dari Pulau Muna terbuat dari bahan alam dan telah menjadi
bagian kehidupan masyarakatnya. Bieck meyakini, layangan pertama di
dunia berasal dari Muna, bukan dari China.
Wolfgong Bick mengambil foto-foto dalam gua tersebut kemudian menuliskan penelitiannya dalam artikel berjudul The First Kiteman di sebuah majalah Jerman tahun 2003.
Selain kaghati, di Pulau Muna ada kamanu-manu yaitu layangan yang terbuat dari tiga helai daun kolope atau daun gadung lalu di rangkai dengan lidi (lio) yang terbuat dari bambu dan dianyam dimana di bagian kiri kanan lidi ditaruh bulu ayam.
Membuat Layang-Layang dari Daun Kolope
Mengolah daun kolope menjadi kertas
layang-layang tidaklah mudah. Kini hanya segelintir orang di Pulau Muna
yang bisa membuat layang-layang dari daun kolope khas Pulau Muna. Daun
kolope hanya merekahkan daunnya sekitar bulan Mei ketika iklim musim
penghujan tiba namun saat itu daun terlalu muda untuk diolah menjadi
kertas layang-layang. Baru sekitar bulan Juli daun kolope sudah cukup
matang untuk dipetik sebagai bahan layangan.
Cara lain adalah menungu daun kolope itu
kering secara alami lalu gugur di tanah. Akan tetapi, daun seperti itu
terlalu rapuh dan mudah robek serta hasilnya kertas kolope akan berwarna
kuning.
Kualitas terbaik daun Kolope adalah dipetik saat daun menua lalu panaskan di atas bara api (dikandela). Barulah setelah itu daun dijemur selama dua hari. Hasilnya bahan layangan berupa kertas putih, elastis dan kedap air.
Untuk satu layang-layang, dibutuhkan
sekitar 100 lembar daun Kolope. Setelah menjadi kertas putih, daun-daun
itu direkatkan satu sama lain pada sisi-sisinya sehingga menjadi satu
lembaran yang utuh. Lembaran kertas dari daun kolope tersebut dikepik
dengan kerangka kayu dan disimpan selama 5 hari. Berikutnya, lembaran
itu dirajut dengan tali agar menjadi lembaran utuh kertas layang-layang.
Sambil menunggu, dibuat kerangka layang-layang dari bambu (patu-patu) dan talinya dari daun nenas hutan.
Daun nenas yang dipetik pun adalah
pilihan yaitu daun tua. Daun ini tidak langsung diolah melainkan
disimpan dahulu selama 2 hari. Setelah kering, daun dikerok dengan bambu
sehingga yang tersisa hanya serat lalu dicecar menjadi jumbai-jumbai
benang. Jumbai-jumbai benang selanjutnya dipilin menjadi seutas tali
yang siap dipakai. Satu helai daun nenas hutan dapat menghasilkan 10
meter tali layang-layang.
Ketika kerangka dan tali sudah siap,
kemudian disatukan menjadi satu layang-layang Kolope utuh. Berikutnya
adalah diberi sentuhan terakhir berupa nada dering (kamumu).
Kamumu adalah semacam pita suara yang dibuat dari daun nyiur yang
apabila ditiup angin akan bergetar dan menghasilkan bunyi khas mendayu
terutama saat layangan dibiarkan terbang saat malam hari.
Setiap layangan memiliki ukuran kamumu
masing-masing sesuai seleranya sehingga suara yang dihasilkannya juga
menjadi spesifik dan dapat dikenali. Bagi telinga yang sering mendengar
bunyi kamumu akan segera dapat menebak pemilik layang-layang
yang terbang di langit saat malam hari. Layangan ini terbuat dari daun
kolope kedap air sehingga tahan di udara selama berhari-hari atau
sekehendak pemiliknya kapan pun ingin diturunkan.
Menurut cerita turun temurun masyarakat
Liang Kabori di Pulau Muna bahwa layang-layang adalah permainan petani
pada masa lalu dimana mereka menjaga kebun sambil bermain layang-layang.
Masyarakat Pulau Muna juga percaya bahwa layang-layang berfungsi
sebagai payung yang akan menjaga pemiliknya dari sengatan sinar Matahari bila ia meninggal dunia. Ketika si pemilik ini meninggal, ia berpulang dengan berpegangan pada tali layangan dan bernaung di bawah layang-layang tersebut.
Saat ini, kaghati kolope masih
dimainkan petani di Pulau Muna terutama setelah masa panen. Biasanya
angin yang baik untuk layangan di Pulau Muna adalah bulan
Juni-September. Pada periode tersebut angin timur bertiup kencang
sehingga mampu menerbangkan layang-layang selama 7 hari tanpa pernah
diturunkan. Bila selama 7 hari layang-layang yang diterbangkan tidak
jatuh maka si pemilik layang-layang akan menggelar syukuran. Akan
tetapi, setidaknya, hobi ini telah ada sekitar 400 tahun di Muna. Pulau
Muna telah beberapa kali menjadi tuan rumah festival layang-layang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar