Senin, 19 Mei 2014

SEKILAS SEJARAH MUNA DAN BUTON


Suku asli Muna ( O Tomuna & Batuawu ), Menghuni Pulau Muna sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan selain menghuni Pulau Muna Orang Muna juga menjadi menghuni sebagaian besar wilayah Pulau Buton dan Pulau-Pulau kecil lainnya seperti Pulau Talaga, Kadatua dan Pulau Siompu yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi kabupaten Buton. Penyebaran Suku asli Muna ( Baca; Orang Muna )di Pulau Buton dan pulau-pulau lainya di Sulawesi Tenggara itu dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, bentuk tubuh dan warna kulit masyarakatnya.
Dalam literatur dan juga dalam pergaulan, Orang Muna lebih dikenal sebagai orang Buton. Hal ini disebabkan karena Kerajaan/Kesultanan Buton, atas bantuan Belanda, mengkooptasi Kerajaan Muna dan mengklaimnya sebagai bagian dari Wilayahnya. Kendati demikian maasyarakat dan pihak istana Kerajaan Muna tidak pernah mengakuinya.
Hingga Kerajaan/Kesultanan Buton dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1962, Raja raja Muna terus melakukan perlawanan terhadap kooptasi Buton dan sekutunya, Belanda tersebut, dan tak pernah mengakui klaim tersebut.
Konsekuensi dari perlawanan tesebut adalah diasingkannya beberapa Raja Muna ke Pulau Sumatera dan Jawa. Perlawanan yang paling ekstrim dilakukan oleh Raja Muna La Ode Dika gelar Komasigino saat menghadap Sultan Boton La Ode Salihi. Dihadapan Sultan Buton, Raja Muna La Ode Dika tidak melakukan penghormatan sebagai mana layaknya bawahan terhadap atasan, bahkan dengan ketegasannya Raja Muna La Ode Dika mengacungkan telunjuknya ke Pada Sultan Buton.
Tata cara yang dilakukan oleh Raja Muna La Ode Dika tersebut dianggap sebagai perlawanan dan ancaman oleh Sultan Buton sehingga dilaporkan pada Pemerintah Kolonial Belanda di Makassar. Akibat dari sikapnya tersebut La Ode Dika dicopot dari jabatannya oleh Pemerintah Kolonial dan secara sepihak pemerintah kolonial menyatakan Kerajaan Muna dibawah pengawasannya ( 1938-1941 ) hingga akhirnya melantik La Ode Pandu sebagai penggantinya.
Kenyataan lain yang menunjukkan bahwa Kerajaan Muna tidak pernah mengakui klaim Kesultanan Buton dan sekutunya Kolonial Belanda adalah kuatnya pengaruh kebudayaan Muna mempengaruhi kehidupan masyarakat di Kesultanan Buton khususnya pengguanaan bahasa Muna. Fakta ini masih dapat dilihat sampai saat ini dimana penutur bahasa Muna (orang Muna) yang mendiami sebagian besar wilayah ex Kerajaan/Kesultanan Buton masih dapat dilihat sampai saat ini..
Orang Muna menjadi penghuni Pulau Muna dan Pulau-pulau lainnya sejak jaman purbakala. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan relief purba di gua Liangkobori dan Gua Metanduno. Menurut beberapa penelitian relief tersebut telah berusia lebih dari 25.000 tahun. Relief yang ada di Gua Liangkobori dan Metanduno secara jelas menceritakan aktifitas Orang Muna saat itu.
Dari relief tersebut menggambarkan bahwa walau Orang Muna masih menempati Gua sebagai tempat tinggal mereka, tetapi mereka telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang cukup tinggi. Orang Muna saat itu seperti yang diceritakan dari relief tersebut telah menggunakan alat-alat pertanian dalam bercocok tanam. Pengetahuan mereka dibidang astronomi juga mulai mengalaami perkembangan. Hal ini dapat dilihat dari gambar matahari, bintang dan bulan.
Pengetahuan Orang Muna di bidang astronomi tersebut masih terus di lestarikan. Hal ini dapat dilihat dari Masyarakat Muna di pedalaman yang masih mengandalkan pengetahuan tradisional dibidang astronomi untuk menentukan musim tanam.
Ada beberapa nama Rasi bintang yang menjadi petunjuk untuk melakukan aktifitas pertanian. Misalnya saja Rasi Bintang yang di namakan Fele, apabila rasi bintang ini sudah mulai terlihat jelas, maka aktifitas membersikan lahan segera di mulai sebab satu bulan lagi hujan pertama akan turun. Apabila hujan sudah turun maka pembakaran lahan dimulai.

Orang Muna

Orang Muna adalah masyarakat Suku Muna, yang mendiami Pulau Muna dan pulau-pulau kecil disekitarnya, sebagian besar Pulau Buton khususnya bagian Utara, Utara Timur Laut dan Barat Daya Pulau Buton, Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Kepulauan Talaga ( wilayah Kabupaten Buton) . Orang Muna menggunakan Bahasa Daerah Muna sebagai bahasa tutur diantara mereka.
Orang Muna asli memiliki kemiripan dengan suku-suku Polynesia dan Melanesia di Pasifik dan Australia. Orang Muna berbeda dengan suku-suku lain yang ada di Sulawesi Tenggara yang memiliki kemiripan dengan Melayu dan Mongoloid.
Dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam), dan rambut (keriting/ikal) terlihat bahwa orang Muna asli lebih dekat dengan suku-suku yang ada di Pulau Flores dan Kepulauan Maluku. Hal ini diperkuat dengan kedekatannya dengan tipikal manusianya dan kebudayaan suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan Pulau Timor dan Flores umumnya.
Motif sarung tenunan di NTT dan Muna sangat mirip yaitu garis-garis horisontal dengan warna-warna dasar seperti kuning, hijau, merah, dan hitam. Bentuk ikat kepala juga memiliki kemiripan satu sama lain.
Orang Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan Muna khususnya di Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga sering mencari ikan atau teripang hingga ke perairan Darwin.
Telah beberapa kali Nelayan Muna ditangkap di perairan ini oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan tradisional antara orang Muna dengan suku asli Australia Aborigin.
Menurut La Kimi Batoa dalam bukunya Sejarah Muna terbitan CV Astri Raha bahwa penduduk asli Pulau Muna adalah O Tomuna dan Batuawu. O Tomuna memiliki ciri-ciri berkulit hitam, rambut ikal tinggi badan antara 160- 165 Cm. Ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum suku-suku malanesia dan Australia .
Suku-suku di Indonesia yang memiliki ciri-ciri seperti ini mendiami wilayah Irian dan Australia ( suku Aborigin). Sedangkan Batuawu berkuit Coklat beraambut ikal dan tinggi tubuh berkisar 150-160 Cm. Postur tubuh seperti ini merupakan ciri-ciri yang dimiliki suku-suku Polynesia yang mendiami Pulau Flores dan Maluku. Suku asli Muna menggunakan Bahasa muna sebagai bahasa sehari-hari.

Kota Tua Raha, Sekilas Wajah Kejayaan Muna Tempo Dahulu


Pukul 15.10, kapal MV Sagori Express dari BauBau berlabuh sejenak di pelabuhan Raha. Dua jam perjalanan laut yang penuh dengan pemandangan indah sepanjang Selat Buton antara Pulau Buton dan Muna sungguh telah menghibur saya. Selanjutnya saya pun turun dan menginjakkan kaki di kota kabupaten yang baru berkembang ini. Riuh suara penumpang yang hendak turun ataupun naik melanjutkan perjalanan ke Kendari, bercampur-baur dengan teriakan penjaja makanan kecil, porter pelabuhan dan tukang ojek yang menawarkan jasanya. Saya segera menghampiri Rahman, seorang tukang ojek yang sedang bediam diri di pinggir dermaga, untuk mengantarkan saya ke tujuan pertama saya, kota Tua Muna.
Perjalanan ke Kota Tua terasa menyiksa sekali, saya terguncang-guncang melewati jalanan tanah berbatu sejauh 30 km ke selatan Raha. Satu-satunya yang menghibur saya adalah hijaunya pemandangan kebun dan hutan yang berjejer di pinggir jalan. Di beberapa tempat tampak rumah-rumah kayu khas Muna yang tersebar terpencil di pinggir-pinggir jalan desa. Sore itu sepi sekali jalanan kami rasa, kami hanya berpapasan dengan dua buah sepeda motor dan sebuah mobil. Cemas sempat hinggap di perasaan saya, jika sampai kami mengalami gangguan motor, misalnya ban bocor, maka dipastikan kami akan bermalam di tempat itu.
Bertanya dua kali ke warga setempat yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan, sampailah kami di pusat Kota Tua Muna. Kampung Lama, demikian banyak orang menyebut daerah ini, saat ini hanya tersisa sebuah mesjid yang gagah berdiri di tengah hijaunya lembah desa. Di sekelilingnya tampak putaran bukit gamping yang berwarna putih abu-abu seolah-olah membentengi mesjid ini dari segala arah. Saat itu waktu ashar telah tiba, saya menaiki undakan tangga mesjid dan menemukan bahwa kami berdua lah yang hanya menjadi tamu mesjid itu. Melongok ke dalam ruangan mesjid yang terkunci, saya baru sadar bahwa tempat ini sudah dirombak total. Bangunan seluas 400m2 ini telah dipugar dan menenggelamkan arsitektur awalnya yang konon sangat menarik. Di luar, puluhan pilar dengan gagah berdiri di atas lantai beton yang menopang atapnya. Lumayan modern tampaknya, dengan rangka-rangka besi yang menghubungkan bagian per bagian. Namun di dalam, saya menemukan bahwa pondasi utama berupa sebuah pilar yang kokoh masih menopang kubah dua tingkatnya yang menjadi penciri khas mesjid ini. Tentu saja, pilar tersebut sudah digantikan dengan beton. Mihrab di bagian depan tampak sederhana, hanya berupa meja kayu tinggi di pinggir kiri dan di kanannya terdapat dua ruang untuk imam dan pengurus mesjid. Seperti halnya mesjid-mesjid agung di daerah lain, seorang imam mesjid yang dituakan akan dipilih untuk menjadi panutan umat. Demikian pulalah halnya yang dengan Yaro Imamu Robine (petinggi Mesjid Agung) Muna, Wa Ode Ghito yang wafat pada tahun 1963 dalam usia 120 tahun! Pusaranya diabadikan di sisi selatan mesjid, bersandingan dengan cucu kesayangan beliau La Ode Manenti Woro. Tampak sebuah batu nisan berbentuk yoni tegak berdiri diapit keramik pualam hitam sebagai penanda makam imam besar tersebut.
Tertarik dengan cerita rakyat akan asal-usul Kerajaan Muna, kami kembali meluncur ke selatan. Kira-kira 10 menit kemudian kami pun berhenti di persimpangan kecil. Diiringi seorang bapak tua, saya, Rahman, dan seorang anak kecil sebagai guide berjalan menembus jalan setapak berbatu menuju ke dalam perbukitan. Tiga ratus meter kemudian, Sang Bapak Tua menunjuk sambil berkata : “Ini dia dek, tempatnya asal-usul kerajaan Muna itu”. Saya pun teringat akan legenda terdamparnya kapal putra Raja Luwu, Sawerigading dalam salah satu pelayarannya di salam satu pulau. Sebelum kembali ke Luwu, Sawerigading meninggalkan anak buahnya sejumlah 40 orang, mendirikan suatu kampung bernama Wamelai yang menjadi cikal-bakal penduduk Muna. Kapal yang kandas tersebut dikisahkan membatu dan menjadi suatu bukit yang disebut Bahutara yang berarti bahtera. Setengah mati saya berusaha memvisualisasikan bentuk bukit di kanan saya agar mirip dengan perahu, namun tidak pernah berhasil. Akhirnya, saya melewatkan tempat ini sementara dan terus berjalan memasuki jalan menuju Kontu Kowuna. Lima belas menit langkah saya terhenti saat Si Bapak menahan pundak saya. “Inikah Kontu Kowuna itu?”, pikir saya dalam hati. Di luar dugaan saya, Kontu Kowuna yang berarti bukit berbunga sebagai asal-muasal nama Muna ini ternyata terdiri dari tiga buah bukit kecil. Bukit-bukit gersang tersebut tampak ditumbuhi sejenis rumput yang berwarna putih tulang. Dahulu, rumput yang bertebaran memberi kesan ”berbunga” ini dipercaya memiliki kesaktian. Prajurit Muna yang hendak berperang selalu mengambil rumput ini sebagai ajimat dan dipercaya mereka akan kembali dengan selamat. Saat ini, masyarakat sekitar masih mempercayai khasiatnya sebagai obat segala penyakit. Cukup dengan mengambil sejumput dan diminum dengan air hangat maka dipercaya segala penyakit akan lenyap. Saya sangat beruntung diberi sejumput bunga itu karena keberadaannya yang jarang sekali.
Penasaran dengan Bahutara, kami pun melangkah kembali ke tempat semula. Begitu saya lepas dari jejeran bukit-bukit mungil Kontu Kowuna, barulah mata saya terbelalak. Saat itu tampak dengan jelas visualiasi perahu dari Bahutara tegak menjulang di sisi kiri. Bukit berbentuk perahu dengan panjang kurang-lebih 40 meter itu memiliki haluan yang menghadap ke selatan. Semakin penasaran, saya melangkahkan kaki mendaki sisi selatan bukit, saking semangatnya saya tiba di bagian “buritan” dengan terengah-engah. Di atas, saya mendapati bahwa di bagian tengah terdapat lorong berupa gua-gua kecil yang umum terdapat di dalam bebatuan gamping. Ada sebuah gua yang lumayan besar dan mengarah ke bawah, namun saya urungkan niat memasukinya karena tidak membawa peralatan yang cukup. Saya hanya melongok sebentar dan takjub, ternyata keberadaan lorong-lorong gua ini cocok dengan cerita adanya ruangan di dalam kapal yang dulunya berfungsi sebagai “kabin”. Rahman, si tukang ojek, pun tidak kalah antusiasnya dari saya. “Maklum, saya asli dan besar di sini tapi baru pertama kali ke sini Pak!”, imbuhnya sambil tersenyum malu. Saya hanya tertawa kecil, hal seperti itu bukan barang baru buat saya.
Dari atas bukit Bahutara, saya melayangkan pandangan ke sekeliling. Di lembah di bawah kaki, tampak atap hijau dua tingkat Mesjid Tua Muna yang saya kunjungi sebelumnya. Sayang sekali, benteng batu yang dikisahkan mengelilingi kerajaan ini sepanjang 8 kilometer dan setebal 3 meter sudah tidak tampak. Jika masih ada dan terjaga, pastilah mahakarya itu akan menjadi “saingan berat” dari benteng kerajaan Buton di BauBau yang sedang menanti pengakuan sebagai benteng terluas di dunia. Namun, pemandangan yang indah di bawah dari indahnya lembah yang menghijau dipagari jejeran putihnya bukit-bukit gamping cukup menghibur hati. Terlebih-lebih, baru saya sadari jika semua rumah di daerah ini masih mempertahankan ciri tradisionalnya. Rumah-rumah panggung dengan bahan kayu polos berwarna coklat tampak kuno dengan ornamen pintu dan jendelanya yang khas. ”Walau sudah lebih ratusan tahun legenda berlalu, kami tetap berusaha mempertahankan budaya warisan nenek moyang kami”, kata Pak Tua dengan suara bergetar. Salut dengan semangat beliau, saya pun menyampaikan rasa terima kasih tak terhingga atas kesediaannya mengantar kami walau pun beliau bukan juru kunci daerah itu. Saya pun pamit dan kembali menuju Raha sebelum malam tiba.
Esok paginya, saya kembali menyetop tukang ojek yang melintas di pinggir pesisir Raha. Tawar-menawar kilat pun terjadi dan deal, saya pun diantarkan kembali ke arah selatan menuju danau Napabale yang cukup terkenal. Saya baru sadar jika perjalanan saya kemarin melewati persimpangan Napabale. Danau, atau lebih tepatnya laguna seluas sepuluh kali lapangan bola ini terletak 15 km selatan Raha. Airnya yang berwarna hijau tosca bening sangat memikat hati. Suasananya sangat senyap, tidak ada debur ombak atau pun pantai di sini. Dasar danau berupa pasir lembut berwarna putih hasil rombakan gamping terumbu. Di beberapa tempat tampak mencuat pulau-pulau mini dari gamping, benar-benar tempat yang romantis! Saya beruntung sekali karena di pagi yang sepi itu, saya menemukan seorang pemuda yang bersedia mengantar saya mengelilingi danau dan tentu saja, menembus melewati lorong menuju laut. Syaiful, pemuda lajang 19 tahun dengan cekatan mendayung perahunya mengelilingi sisi selatan danau. Ternyata, sembari menuju lorong ke laut, di bagian itu terdapat beberapa rumah nelayan yang difungsikan sebagai tempat pengolahan ikan. Berbagai ikan segar hasil laut diawetkan dengan cara dijemur berjejeran dan digarami. Mereka sepertinya jarang bertemu pelancong di hari biasa, tampak dari raut wajahnya yang berubah ceria saat melihat saya dari kejauhan.
Debar jantung saya menjadi-jadi saat mendekati lorong menuju laut hasil pahatan alam ini. Bukan apa-apa, muka air laut saat itu masih tinggi menurut saya, namun Syaiful tenang-tenang saja. “Tenang saja Pak, air sudah mulai surut, kita pakai perahu kecil jadi pasti sudah bisa lewat”, ujarnya penuh percaya diri. “Okelah, penumpang turut supir “, jawab saya pendek. Memasuki mulut lorong, sempit sekali rasanya bagi saya, walaupun lebarnya mencapai sekitar 9 meter dengan panjang 30-an meter, kami hanya leluasa melalui jalur zig-zag selebar 3 meter saja. Beberapa kali saya harus menundukkan kepala menghindari tonjolan-tonjolan stalagtit kecil di atas lorong.
Sekitar kurang dari lima menit kami melewati lorong itu dan sampailah kami di ujung. Fikir saya, muara lorong itu adalah laut luas Selat Buton, ternyata sisi ujung itu bermuara ke tempat yang menurut saya masih saja tertutup. Jejeran benteng perbukitan gamping yang mengitari dan pulau-pulau kecil yang mencuat membuat saya seolah-olah memasuki Danau Napabale kedua. Bedanya, di sini dasar laut tampak dalam sekali. Tidak tampak lagi dasar pasir putih di bawah, hanya hijau kelam membayang. Di sisi-sisi pantai yang hanya secuil, tampak beberapa rumah nelayan dan bagang-bagang. Bagang adalah rangkaian perahu yang digunakan untuk menangkap ikan di malam hari. Jika kita melewati perairan Sulawesi di malam hari dan melihat terangnya lampu neon atau petromaks di laut, dipastikan itu adalah bagang atau wanggan, sebagai mana dilafalkan berbeda di daerah lain. Daerah ini, menurut Syaiful, adalah “rest area” bagi nelayan di sini. Para nelayan yang berdiam di desa Napabale, jika hendak kembali ke desa dan air laut sedang naik maka mereka harus menunggu di sini sampai perahu kecil mereka bisa menembus lorong danau.
Saya tidak bernyali untuk meneruskan perjalanan ke luar menuju Selat Buton hanya bermodalkan perahu kayuh kecil milik Syaiful tersebut. Akhirnya sisa waktu hanya saya habiskan memutari tempat itu lalu kembali memasuki lorong untuk kedua kalinya dan memutari sisi utara danau menikmati eksotisme keindahan tempat ini. Tidak mengherankan, ratusan turis manca negara datang ke tempat ini setiap tahunnya di musim panas hanya untuk menikmati jernihnya hijau air Napabale dalam pahatan alam yang begitu indah hasil karya tiada tara Sang Maha Pencipta.

Where to Stay :
Hotel Berlian (0403-21316) terletak dekat dengan pelabuhan dan pusat kota serta memiliki pemandangan malam yang cukup indah. Hotel lain seperti Alia (0403) 21150 juga cukup nyaman untuk disinggahi.
What to Do :
Raha adalah kota kecil yang terletak di pinggir timur pulau Muna. Tata ruang kota relatif memanjang mengikuti bentuk pesisir. Menjangkau tempat-tempat di Raha, seperti halnya kota-kota lain di Indonesia Timur, dapat dengan menggunakan ojek. Tarif sekali jalan dalam kota jarak dekat berkisar antara 3.000 hingga 5.000 rupiah dan bila ingin menyewa seharian full day, harga 60.000 all in biasanya akan cukup memuaskan si tukang ojek.

Sejarah Masuknya Islam Di Muna Dan Munculnya Kangkilo


Pogeraha Adara dan Pulau Muna: Hiburan Naluri Purba Rakyat Pulau Kuda

Keindahan bawah laut Wakatobi telah memukau banyak petualang. Akan tetapi, tahukah Anda bahwa pesona budaya di atas daratannya juga tak kalah memukau. Salah satunya yang patut dilihat adalah atraksi di Raha, ibu kota Pulau Muna. Pulau Muna adalah sebuah pulau di lepas pantai Sulawesi Tenggara. Temukan di sini atraksi adu kuda tradisional yang dapat mengimbangi kepuasan nikmatnya keindahan bawah laut Wakatobi.
Masyarakat Muna mengenal adu kuda ini dengan sebutan Pogeraha Adara. Tradisiinimenggambarkan betapa kuda begitu penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Bisa jadi karena tradisi inilah pula kemudian Pulau Muna dikenal sebagai Pulau Kuda. Salah satu yang kental dengan penamaan ini adalah penduduk Desa Lathugo di Kecamatan Lawa yang masih melestarikan Pogeraha Adara. Sehari-hari pun mereka banyak yang memakai kuda meski sarana transportasi sudah modern.
Setiap tahun sedikitnya 3 kali atraksi adu kuda digelar di lapangan terbuka Kecamatan Lawa, sekitar 20 km dari Raha. Acara ini biasanya digelar setiap HUT Kemerdekaan RI, Hari Raya Id Fitri, dan Id Adha. Kecuali itu Anda dapat menemukannya di Desa Lathugo, Kecamatan Lawa, karena di sini adu kuda diselenggarakan tiap bulan.
Saatnya Anda mencicipi pengalaman budaya yang berbeda, unik, dan menarik dalam Pogeraha Adaradi Pulau Muna
Atraksi ini adalah peninggalan raja-raja Muna. Awalnya pertunjukan adu kuda ini dimaksudkan sebagai penghormatan raja kepada tamu-tamu penting yang datang dari Pulau Jawa atau daerah lain. Sekarang, atraksi ini secara rutin digelar bertepatan pada hari-hari besar. Makna Pogeraha Adara mencerminkan kekuatan dan keuletan dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan sekalipun harus
Atraksi Pogeraha Adara dimulai dengan menampilkan kuda-kuda betina yang dipimpin seekor kuda jantan yang berbadan besar dan beringas. Di tempat lain, dimunculkan seekor kuda jantan dengan ukuran fisik sama besar. Kuda jantan itu akan berusaha mendekatkan dirinya ke kuda-kuda betina yang dipimpin seekor kuda jantan tadi. Akibatnya kuda jantan yang memimpin sejumlah kuda betina akan terpancing marah saat melihat kuda jantan asing mendekati kawanan kuda betinanya. Kedua kuda jantan sama besar ini telah dibuat gelisah dan saling iri satu sama lain hingga akhirnya bertarung. Siapa yang keluar sebagai pemenang maka akan mendapatkan kuda betina.
Kuda yang diadu adalah kuda jantan liar dari alam bebas. Uniknya, untuk menangkap kuda jantan liar tersebut tidak memakai laso tetapi seorang meintarano (pawang kuda) akan menirukan suara kuda betina sebagai pemancing. Jika kuda jantan mendekat maka sang meintarano tinggal menangkapnya. Kuda yang ditangkap kemudian dijinakan dan dilatih di sebuah lapangan dengan mengelus-elus hidung, telinga, hingga ke punggung kuda. Kuda yang diadukan tersebut khusus dipelihara memang untuk perkelahian.
Setelah perkelahian maka luka-luka di badan kuda akan diobati dengan gerusan campuran karbon dari baterai bekas dan minyak tanah. Obat ini dipercaya mencegah infeksi dan luka akan cepat mengering. Setelah sembuh kuda aduan itu akan dilepaskan kembali ke alam bebas untuk kemudian suatu hari mungkin ditangkap kembali untuk memenuhi naluri purba rakyat Pulau Kuda.

Pulau Muna dan Kisah Epik I La Galigo

Dalam sejarah Pulau Muna yang dikenal sebagai Tanah Wuna. Jules Couvreur, seorang peneliti Belanda (1933-1935) menulis dalam jurnalnya secara mendalam tentang sejarah kerajaan Wunayang ada hubungannya dengan Buton.
Karyanya Couvreur kemudian dipublikasikan oleh Dr. Renevan Den Berg, seorang profesor linguistik dan peneliti bahasa Munadari Darwin, Australia. Rene menerjemahkan jurnal tersebut ketika Couvreur meninggaldi Den Haag tahun 1971 dalam usia 70 tahun.
Menurut Couvreur, Wuna’ dalam bahasa Muna berarti ‘bunga, Disebut begitu karena tidak jauh dari Kota Wuna itu terdapat sebuah bukit batu karang yang menyerupai bunga. Tebing ini disebut ‘bahutara‘ atau ‘bahtera‘ yang berarti perahu besar atau sebuah bahtera. Bahtera ini dikaitkan dengan Sawerigading yaitu tokoh karakter dalam kisah epik legendaris I La Galigo.
I La Galigo adalah kisah epik terpanjang di dunia sekaligus lebih tua dari Mahabharata. Bahasa dalam epik legendaris ini adalah bahasa Bugis kuno. Sawerigading merupakan asli rakyat Wuna dan ayah dari La Galigo yang merupakan tokoh utama dalam epik I La Galigo. Meskipun Sawerigading dan La Galigo tidak pernah menjadi raja tetapi mereka berdua digambarkan sebagai petualang, pengembara, kapten kapal, dan pahlawan yang tak terkalahkan. Salah satu putra I La Galigo itu, La Tenritatta, pernah menjadi raja di Luwu, Sulawesi Selatan.
Dalam epik I La Galigo, Sawerigading dan I La Galigo digambarkan sebagai penakluk binatang besar dimana orang-orang pada umumnya di pulau Muna menjadikan adu kuda sebagai tradisi yang senantiasa dihidupkan. Menurut cerita bahwa orang yang datang ke Muna tidak bisa berjalan tegak dan dilarang berkuda. Kuda, rusa, dan anoa merupakan hewan endemik Sulawesi dan hanya bisa ditunggangi oleh raja-raja di wilayah tersebut.
Seperti dijelaskan Couvreur bahwa Kerajaan Wuna tidak pernah didirikan secara resmi sampai raja yang ke-7, La Kila Ponto (1538-1541) membangun benteng mengelilingi kerajaan dengan panjang 8 km, tinggi 4 meter, dan lebar 3 meter. La Kila Ponto kemudian diresmikan sebagai raja Buton dan Wuna diserahkan ke La Posasu, adik La Kila Ponto.
Saat ini, benteng yang mengelilingi kerajaan tersebut masih berdiri berpadu bersama masjid agung bergaya rumah Buton. Masjid tersebut dibangun pada 1712, kemudian direnovasi pada 1933 oleh La Ode Dika, salah satu raja Muna (1930-1938). La Ode Dika menerima bantuan dari Jules Couvreur untuk mengembangkan masjid tersebut. La Ode Dika dijuluki oleh Couvreur sebagai Komasigino’ atau pendiri masjid. La Ode Dika memiliki 14 anak dan beberapa dari mereka menjadi beberapa pemimpin lokal Sulawesi Tenggara.

Kaghati Kolope : Layang-Layang Tertua di Dunia dari Pulau Muna


Percayakah Anda ada layang-layang yang telah berusia 4.000 tahun? Jika tidak, maka Pulau Muna di Sulawesi Tenggara telah membuat bangga Indonesia dengan salah satu kearifan lokalnya. Layangan (kaghati) kolope adalah budaya dari zaman prasejarah Pulau Muna dimana tidak hanya memiliki nilai sejarah tinggi tetapi juga karena layangan ini dibuat dari bahan alami oleh nenek moyang mereka.
Penduduk setempat menyebut layangan tua ini dengan nama Kaghati Kolope. Layang-layang daun kolope berulang kali menjuarai Festival Layang-Layang Internasional dan telah membuat Pulau Muna terkenal di dunia.
Anda dapat menjumpai layangan tradisional ini di Desa Mabolu, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Selatan. Pulau Muna yang terkenal dengan kayu jatinya adalah sebuah pulau karst alami dengan pemandangan batuan kapur. Pulau ini memiliki ciri ngarai dan lubang-lubang yang merupakan hasil erosi. Pulau Muna dapat diakses selama 2 jam dengan menggunakan speedboat dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara.
Layang-layang tradisional dari Pulau Muna ini terbuat dari lembaran daun kolope (daun gadung) yang telah kering kemudian dipotong ujung-ujungnya. Satu per satu daun tersebut dijahit dengan lidi dari bambu sebagai rangka layangan, sementara talinya dijalin dari serat nanas hutan.
Permainan layang-layang (kaghati) oleh nenek moyang masyarakat Muna telah dilakukan sejak 4 ribu tahun lalu. Hal ini berdasarkan penelitian Wolfgong Bick tahun 1997 di Muna. Wolfgong Bick berasal dari Jerman dan merupakan salah seorang Counsultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial Photography. Awal penelitiannya dilatarbelakangi saat Festival Layang-Layang Dunia di Prancis tahun 1997. Saat itu layangan Kaghati Kolope dari Indonesia tampil sebagai juara mengalahkan Jerman. Hal ini membuatnya berkeinginan menelusuri keunikan Kaghati Kolope dan mengantarkannya ke Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Tepatnya di Gua Sugi Patani, Desa Liang kobori sekitar 8 km dari Raha, ibu kota Pulau Muna. Gua ini berada di sebuah bukit setinggi 80 meter dengan kemiringan 90 derajat.
Dalam penelitiannya Wolfgong Bick melihat sendiri lukisan tangan manusia yang menggambarkan layang-layang di dalam Gua Sugi Patani, Desa Liangkobori. Di situs prasejarah tersebut tergambar seseorang sedang bermain layang-layang di dinding batunya dengan menggunakan tinta warna merah dari oker (campuran tanah liat dengan getah pohon). Gambar itu sudah dicoba untuk dihapus tetapi tidak bisa.
Penemuan lukisan di Gua Sugi Patani dikatakan Wolfgong Bick telah mematahkan klaim bahwa layangan pertama berasal dari China pada 2.400 tahun lalu. Layangan yang ditemukan di China menggunakan bahan kain parasut dan batang almunium. Sementara layangan dari Pulau Muna terbuat dari bahan alam dan telah menjadi bagian kehidupan masyarakatnya. Bieck meyakini, layangan pertama di dunia berasal dari Muna, bukan dari China.
Wolfgong Bick mengambil foto-foto dalam gua tersebut kemudian menuliskan penelitiannya dalam artikel berjudul The First Kiteman di sebuah majalah Jerman tahun 2003.
Selain kaghati, di Pulau Muna ada kamanu-manu yaitu layangan yang terbuat dari tiga helai daun kolope atau daun gadung lalu di rangkai dengan lidi (lio) yang terbuat dari bambu dan dianyam dimana di bagian kiri kanan lidi ditaruh bulu ayam.
Membuat Layang-Layang dari Daun Kolope
Mengolah daun kolope menjadi kertas layang-layang tidaklah mudah. Kini hanya segelintir orang di Pulau Muna yang bisa membuat layang-layang dari daun kolope khas Pulau Muna. Daun kolope hanya merekahkan daunnya sekitar bulan Mei ketika iklim musim penghujan tiba namun saat itu daun terlalu muda untuk diolah menjadi kertas layang-layang. Baru sekitar bulan Juli daun kolope sudah cukup matang untuk dipetik sebagai bahan layangan.
Cara lain adalah menungu daun kolope itu kering secara alami lalu gugur di tanah. Akan tetapi, daun seperti itu terlalu rapuh dan mudah robek serta hasilnya kertas kolope akan berwarna kuning.
Kualitas terbaik daun Kolope adalah dipetik saat daun menua lalu panaskan di atas bara api (dikandela). Barulah setelah itu daun dijemur selama dua hari. Hasilnya bahan layangan berupa kertas putih, elastis dan kedap air.
Untuk satu layang-layang, dibutuhkan sekitar 100 lembar daun Kolope. Setelah menjadi kertas putih, daun-daun itu direkatkan satu sama lain pada sisi-sisinya sehingga menjadi satu lembaran yang utuh. Lembaran kertas dari daun kolope tersebut dikepik dengan kerangka kayu dan disimpan selama 5 hari. Berikutnya, lembaran itu dirajut dengan tali agar menjadi lembaran utuh kertas layang-layang. Sambil menunggu, dibuat kerangka layang-layang dari bambu (patu-patu) dan talinya dari daun nenas hutan.
Daun nenas yang dipetik pun adalah pilihan yaitu daun tua. Daun ini tidak langsung diolah melainkan disimpan dahulu selama 2 hari. Setelah kering, daun dikerok dengan bambu sehingga yang tersisa hanya serat lalu dicecar menjadi jumbai-jumbai benang. Jumbai-jumbai benang selanjutnya dipilin menjadi seutas tali yang siap dipakai. Satu helai daun nenas hutan dapat menghasilkan 10 meter tali layang-layang.
Ketika kerangka dan tali sudah siap, kemudian disatukan menjadi satu layang-layang Kolope utuh. Berikutnya adalah diberi sentuhan terakhir berupa nada dering (kamumu). Kamumu adalah semacam pita suara yang dibuat dari daun nyiur yang apabila ditiup angin akan bergetar dan menghasilkan bunyi khas mendayu terutama saat layangan dibiarkan terbang saat malam hari.
Setiap layangan memiliki ukuran kamumu masing-masing sesuai seleranya sehingga suara yang dihasilkannya juga menjadi spesifik dan dapat dikenali. Bagi telinga yang sering mendengar bunyi kamumu akan segera dapat menebak pemilik layang-layang yang terbang di langit saat malam hari. Layangan ini terbuat dari daun kolope kedap air sehingga tahan di udara selama berhari-hari atau sekehendak pemiliknya kapan pun ingin diturunkan.
Menurut cerita turun temurun masyarakat Liang Kabori di Pulau Muna bahwa layang-layang adalah permainan petani pada masa lalu dimana mereka menjaga kebun sambil bermain layang-layang. Masyarakat Pulau Muna juga percaya bahwa layang-layang berfungsi sebagai payung yang akan menjaga pemiliknya dari sengatan sinar Matahari bila ia meninggal dunia. Ketika si pemilik ini meninggal, ia berpulang dengan berpegangan pada tali layangan dan bernaung di bawah layang-layang tersebut.
Saat ini, kaghati kolope masih dimainkan petani di Pulau Muna terutama setelah masa panen. Biasanya angin yang baik untuk layangan di Pulau Muna adalah bulan Juni-September. Pada periode tersebut angin timur bertiup kencang sehingga mampu menerbangkan layang-layang selama 7 hari tanpa pernah diturunkan. Bila selama 7 hari layang-layang yang diterbangkan tidak jatuh maka si pemilik layang-layang akan menggelar syukuran. Akan tetapi, setidaknya, hobi ini telah ada sekitar 400 tahun di Muna. Pulau Muna telah beberapa kali menjadi tuan rumah festival layang-layang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar